Setelah sekian lama, akhirnya saya
mendengar cerita itu. Cerita yang selama ini hanya bisa saya terka.
Apakah begini, apakah begitu. Cerita itu mengalir senja tadi seiring
dengan tegukan secangkir latte.
Saya
tidak tahu, haruskah merasa lega atau justru kecewa. Dia berkata:
silahkan tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Setelah kesempatan itu
datang, saya jadi tidak tahu harus memulai darimana.
Yang paling sya takuti adalah saya salah memberi jawaban, saya takut pendapat saya
dianggap kekanak kanakan lagi. Akhirnya saya minta dia menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan terlebih dahulu.
Seperti
itulah, awalnya dia sangat berhati hati. Saya sungguh sangat ingin
menjadi pendengarnya yang baik. Saya setuju dengan pepatah ketulusan
akan berbuah baik. Saya menganggap bahwa, tadi dia merasakan ketulusan
saya. Atau setidaknya saya berharap seperti itu.
Kemudian
saya tahu bahwa yang membuat kami jauh bukan hanya karna dia, tapi
karna sya juga menjaga jarak dari dia. Tanpa disadari kami mundur teratur, selangkah demi selangkah.Sampai kami tiba pada titik tidak saling mengenali.
Saya
selalu merasa bahwa selama ini sikap saya sudah benar. Terkadang saya merasa dia
yang tidak dewasa. Tapi senja tadi dia bercerita dari dsudut pandangnya. lagi lagi saya melupakan
satu prinsip yang sintingnya selama ini selalu saya teriakan dalam hati
saya. Dia punya alasan sendiri kenapa dia seperti itu. Alasannya masuk
akal. Alasan kenapa selama ini dia seperti itu. Kami hanya merasa
menjadi korban, tidak ada yang mau meluruskan.
Saya
berkata bahwa ada masa dimana saya ingin mulai menghubunginya meski
hanya sekedar chatt sapaan. Tapi tidak pernah saya lakukan. Dia
menjawab, kenapa tidak kamu lakukan? Saya jawab karna saya takut sama
reaksi kamu. Kemudian dia menjawab, bahwa dia juga menunggu itu.
Menunggu seseorang menyapanya, menanyakan apapun itu. Saya terkejut,
karna lagi-lagi saya merasa sudah menjadi teman yang buruk.
Sebetulnya
kami sama-sama ingin memulai komunikasi, tapi tidak pernah ada yang
benar-benar memulai. Sampai semuanya tertumpuk asumsi sebelah pihak. Saya membayangkan sesulit apa dirinya, ketika dia kecewa karna telah terlalu banyak berharap, tidak ada yang benar-benar menanyakan keadaannya dan tidak juga temannya. Saya sendiri langsung mundur teratur karna takut pada reaksinya. jika saja, saya sedikit bertahan untuk tidak menggubris sikapnya yang
mengecewakan dan tetap menyapa dia seperti biasa, Apakah ada yang akan berubah?
mengecewakan dan tetap menyapa dia seperti biasa, Apakah ada yang akan berubah?
Dan sekarang, haruskah
saya merasa lega? Karna ternyata, alasan utama dari perubahannya itu ternyata
bukan saya. Tapi orang lain. Ataukah saya harus merasa kecewa karna
ternyata saya bukan seseorang yang cukup berarti untuk mempengaruhi
keadaannya?
21 April 2017
_satu kali lagi senja_
didepan dua gelas latte
Tidak ada komentar:
Posting Komentar