Senin, 24 April 2017

Obrolan Sore Tadi

Setelah sekian lama, akhirnya saya mendengar cerita itu. Cerita yang selama ini hanya bisa saya terka. Apakah begini, apakah begitu. Cerita itu mengalir senja tadi seiring dengan tegukan secangkir latte.

Saya tidak tahu, haruskah merasa lega atau justru kecewa. Dia berkata: silahkan tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan. Setelah kesempatan itu datang, saya jadi tidak tahu harus memulai darimana. 

Yang paling sya takuti adalah saya salah memberi jawaban, saya takut pendapat saya dianggap kekanak kanakan lagi. Akhirnya saya minta dia menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan terlebih dahulu.

Seperti itulah, awalnya dia sangat berhati hati. Saya sungguh sangat ingin menjadi pendengarnya yang baik. Saya setuju dengan pepatah ketulusan akan berbuah baik. Saya menganggap bahwa, tadi dia merasakan ketulusan saya. Atau setidaknya saya berharap seperti itu.

Kemudian saya tahu bahwa yang membuat kami jauh bukan hanya karna dia, tapi karna sya juga menjaga jarak dari dia. Tanpa disadari kami mundur teratur, selangkah demi selangkah.Sampai kami tiba pada titik tidak saling mengenali.

Saya selalu merasa bahwa selama ini sikap saya sudah benar. Terkadang saya merasa dia yang tidak dewasa. Tapi senja tadi dia bercerita dari dsudut pandangnya. lagi lagi saya melupakan satu prinsip yang sintingnya selama ini selalu saya teriakan dalam hati saya. Dia punya alasan sendiri kenapa dia seperti itu. Alasannya masuk akal. Alasan kenapa selama ini dia seperti itu. Kami hanya merasa menjadi korban, tidak ada yang mau meluruskan.

Saya berkata bahwa ada masa dimana saya ingin mulai menghubunginya meski hanya sekedar chatt sapaan. Tapi tidak pernah saya lakukan. Dia menjawab, kenapa tidak kamu lakukan? Saya jawab karna saya takut sama reaksi kamu. Kemudian dia menjawab, bahwa dia juga menunggu itu. Menunggu seseorang menyapanya, menanyakan apapun itu. Saya terkejut, karna lagi-lagi saya merasa sudah menjadi teman yang buruk.

Sebetulnya kami sama-sama ingin memulai komunikasi, tapi tidak pernah ada yang benar-benar memulai. Sampai semuanya tertumpuk asumsi sebelah pihak. Saya membayangkan sesulit apa dirinya, ketika dia kecewa karna telah terlalu banyak berharap, tidak ada yang benar-benar menanyakan keadaannya dan tidak juga temannya. Saya sendiri langsung mundur teratur karna takut pada reaksinya. jika saja, saya sedikit bertahan untuk tidak menggubris sikapnya yang
mengecewakan dan tetap menyapa dia seperti biasa, Apakah ada yang akan berubah?

Dan sekarang, haruskah saya merasa lega? Karna ternyata, alasan utama dari perubahannya itu ternyata bukan saya. Tapi orang lain. Ataukah saya harus merasa kecewa karna ternyata saya bukan seseorang yang cukup berarti untuk mempengaruhi keadaannya?


21 April 2017
_satu kali lagi senja_
didepan dua gelas latte

Tidak ada komentar:

Posting Komentar