Selasa, 29 Maret 2016

Angkot dan Hikmah Pagi

Pagi ini seperti biasa aku pergi ke tempat kerja menggunakan angkot. Aku tidak pernah menyangka kalau pagi ini akan ada pelajaran besar yang manantiku di dalam angkot.

Aku tidak tahu harus memulai cerita ini dari sudut pandang mana. Bagiku ini sangat luar biasa karna hal ini  menjadi jawaban atas salah satu kegelisahanku.



Supir angkot yang aku naiki berusia sekitar 60 tahun atau pertengahan 50 tahun. Dia memiliki tubuh kecil dan sebagian besar rambutnya sudah memutih.  Aku duduk disampingnya. Dipertengahan jalan dia bertanya kemana saya akan pergi dan aku menyebutkan nama salah satu jalan. Dia langsung menebak dimana tempat aku bekerja, meskipun meleset sedikit. tapi aku anggap jawabannya benar. Disinilah cerita itu dimulai.

Dia memiliki seorang anak perempuan yang sudah lulus dari SMK jurusan analis tahun lalu. Ketika lulus, dia bilang anaknya dipanggil sebuah perusahaan jepang untuk bekerja disana. Gaji pertama yang akan dia terima sekitar 3juta rupiah. Kalau aku jadi anak itu, aku mungkin akan langsung mengambilnya. Tawaran ini sangat menarik, mengingat latar belakang pendidikanku dan sulitnya mencari kerja akhir-akhir ini.

Tapi anaknya menolak. dia bilang dia tidak ingin jadi karyawan, dia ingin jadi pemimpin karyawan. Jadi dia bilang pada Bapaknya kalau dia ingin kuliah. Bapak supir itu sudah bilang bahwa dia tidak akan sanggup membiayai kuliahnya. Anaknya tetap ingin kuliah. Dia akan mencari jalan lain untuk kuliah. Dia mendaftar di salah satu lembaga penyedia beasiswa, Dia diterima mendapat beasiswa itu dan harus mengikuti seminar di semarang. Bapak itu membiayai keberangkatan anaknya. Dia mendapatkan beasiswa dari salah satu perguruan tinggi terkenal di daerah Jogjakarta. Bapaknya tidak mengizinkan dia pergi mengingat bahwa dia perempuan dan bagaimana biaya hidup dia disana nanti.

Akhirnya beasiswa itu tidak dia ambil. dan sekarang dia memilih untuk menjadi relawan di salah satu rumah yatim untuk mencari donatur dan mengajar agama anaka-anak disana. Sungguh mulia. Itulah yang pertama aku fikirkan. Aku iri dia begitu teguh pada impiannya. dan begitu mulianya dia membantu orang lain.

Yayasan rumah yatim itu akhirnya menawari dia kuliah di dua perguruan tinggi di kota ini. kebetulan salah satunya adalah PT tempat aku bekerja. Aku bilang jika dia masuk PT tempat aku bekerja dia bisa meneruskan di jurusan farmasi. Aku tidak tahu jurusan apa yang tersedia di PT yang lain. Tapi aku bilang juga akan lebih baik kalau anaknya meneruska ke jurusan analis kimia, Peluang kerja analis kimia sangat terbuka saat ini.

Bapak supir itu memberikan jawaban yang membuatku sedikit tertegun. Anaknya tidak mau mengambil jurusan analis. Banyak seniornya yang bilang pekerjaan sebagai analis itu terlalu beresiko. Memang betul, itulah sebabnya perusahaan sanggup membayar mahal para analis karna memang memiliki resiko kerja tinggi. Dia ingin masuk jurusan manajemen saja. Kata-kata bapak supir yang berikutnyalah yang membuatku tertegun. Dia bialng: "Bapak merasa perjuangan bapak sia-sia selama ini. Bapak sering harus mengganti peralatan laboratorium yang rusak. Mulai dari puluhan sampai ratusan ribu. kalau ujung-ujungnya ingin masuk manajemen, bapak merasa percuma. Sekarang gimana dia aja maunya apa."

Aku iri pada anak ini tapi setelah bapak itu mengatakan hal itu, aku marah. Aku iri karena dia begitu teguhnya mempertahankan keinginan dia untuk kuliah, sedang aku dengan mudahnya melepaskan keinginanku karena aku melihat orang tuaku teramat sangat membutuhkan bantuanku.

Aku marah dan kecewa pada anak ini, di satu sisi dia menjadi relawan untuk mencari donatur bagi anak-anak yatim, sementara itu bapaknya sendiri berjuang di jalanan untuk menghidupi dia sehari-hari. Dia terlihat seperti orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Entah kenapa aku merasa menang atas anak ini.

Satu lagi yang membuatku merasa sakit, sebelum akhirnya aku samapai ke tujuanku bapak itu bilang "Bapak mungkin keburu mati jika harus menunggu 4 tahun lagi anak bapak selesai kuliah dan melihat dia bisa mandiri dengan peghasilannya sendiri".

Perkataan bapak supir yang terakhir itulah yang menjawab kegelisahanku. Terkadang aku masih merasa menyesal karna terlalu mudah melepas keinginanku untuk kuliah. aku minder melihat teman-temanku yang sekarang sudah menjadi sarjana. Tapi sekarang aku merasa aku telah membuat keputusan yang sangat tepat dengan memilih untuk langsung bekerja. Setidaknya, sebelum ibuku meninggal aku bisa memperlihatkan padanya bahwa aku sudah bisa madiri dengan pengahsilanku sendiri meski pekerjaanku sebagai karyawan, aku sudah bisa membelikan makanan kesukaannya dengan gajiku sebagai karyawan.

Terima kasih Ya Allah, karna sudah memberikan jawaban yang sangat memuaskan satu kegelisahanku.

Cerita ini aku ceritakan berdasarkan sudut pandangku. Tidak berarti semua disimpulkan bahwa setelah lulus sekolah menengah kita harus bekerja untuk membantu orang tua. Pendidikan itu Penting titik.

Tapi bagiku yang juga pemimpi, melihat keadaan disekeliling kita itu juga penting. Bermimpi itu membayangkan diri kita di masa depan. Masih semu. Tidak Jelas. Sementara saat ini ada yang lebih nyata. Yaitu Kenyataan. Kenyataan ini selalu berhubungan dengan prioritas prioritas. Silahkan lihat orang tua kita, silahkan lihat rumah kita, silahkan lihat diri kita, di banding mimpi-mimpi kita itu, mana yang lebih mendesak??

Teramat sangat baik jika mimpi kita bisa sejalan dengan kenyataan. Itulah kesempurnaan.

Ridhallahi fii ridha walidaini.

Wallahu a'lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar